Senin, 23 November 2009

hari ini hari anti HIV AidS


Stop Diskriminasi

Oleh Lilis Zulaekha S.

Di pengujung Mei 2007, secara serentak dunia memperingati HIV/AIDS dengan tajuk International AIDS Candlelight Memorial. Sementara itu, negeri ini mengusung tema Malam Renungan HIV/AIDS Nusantara 2007 (Jawa Pos, 02/06).

Tema itu cukup menarik karena mengajak kita untuk senantiasa peduli dan memperhatikan penderita HIV/AIDS dan memandu arah menuju dunia tanpa HIV/AIDS.

Kita semua tahu bahwa penyakit dengan human immunodeficiency virus (HIV) tersebut menjadi momok yang menakutkan bagi manusia di muka bumi ini. Sudah banyak korban yang meninggal akibat penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu.

Berbagai bentuk kampanye atau gerakan anti-HIV/AIDS telah dilakukan, seperti dijadikan tema seminar atau diskusi. Namun, gerakan semacam itu sering menimbulkan implikasi negatif terhadap keberadaan para penderita HIV/AIDS atau dalam arti munculnya diskriminasi terhadap penderita (orang dengan HIV/AIDS-ODHA).

Sebagai komponen masyarakat yang distereotipkan, tidak jarang pengidap HIV/AIDS dijauhi, dilecehkan, dihina, dan dicaci maki. Lebih memprihatinkan, mereka dianggap sebagai biang kerok yang akan menularkan virus kepada orang lain.

Padahal, seperti sudah sering dijelaskan pakar kesehatan, penularan HIV/AIDS tidak sama dengan penyakit gatal-gatal, misalnya. HIV/AIDS hanya bisa menular melalui transfusi darah, jarum suntik, seks bebas, dan narkoba.

Penyakit AIDS (acquired immune deficiency syndrome) memang perlu diwaspadai karena sangat ganas dan tidak kenal kompromi terhadap siapa pun. Data Departemen Kesehatan menunjukkan peningkatan tajam infeksi AIDS dari tahun ke tahun. Akhir 2006 penderita AIDS mencapai 4.527, tapi dalam triwulan Januari-Maret 2007 telah bertambah 794 kasus AIDS dan 410 pengidap infeksi HIV. Kasus AIDS tertinggi di Provinsi NTT dengan 73 orang meninggal dunia pada caturwulan pertama 2007 (Jawa Pos, 02/06). Menurut dr Peter Piot, executive director UNAIDS, Indonesia disebut sebagai negara dengan epidemi tercepat.

Fenomena gunung es itu disebabkan adanya pemahaman keliru tentang konsep "nikmat" dan "bahaya". Mereka beranggapan bahwa dengan memakai kondom, hubungan seks bebas akan aman. Padahal, menurut dr Faizatur Rasyidah, dokter yang berkecimpung dalam penanganan HIV/AIDS, kondom kurang efektif mengurangi angka penderita HIV/AIDS (2004).

Stop Diskriminasi

Pengidap HIV/AIDS sebenarnya mengalami tekanan psikologis yang berlapis-lapis. Setelah berkutat pada penyakit itu, mereka harus menerima perlakuan yang sangat tidak humanis dari lingkungan sekitar. Orang merasa takut bila bertemu atau bahkan bersentuhan dengan penderita HIV/AIDS.

Dalam konteks ini, jika marginalisasi dilakukan dengan dalih mengganggu ketenteraman masyarakat, tidak berguna, dan sebagainya, itu justru merupakan perbuatan yang sama nistanya dengan HIV/AIDS itu sendiri.



Karena itu, ke depan, yang sangat diharapkan dari gerakan anti-HIV/AIDS adalah bisa menyikapi penularan penyakit mematikan tersebut, bukan malah menentang atau anti terhadap para penderita. Mereka tidak perlu ditentang atau didiskriminasikan. Tetapi, mereka perlu mendapatkan apresiasi yang positif dari masyarakat.

Satu hal yang perlu ditekankan dalam tulisan ini bahwa kampanye anti-HIV/AIDS bukan berarti kampanye anti terhadap penderitanya (ODHA). Sebab, bagaimanapun, mereka butuh penghidupan yang layak secara manusiawi tanpa harus dimarginalkan. Bagi penderita HIV/AIDS, rasa persaudaraan serta persahabatan yang tinggi sangat dinanti-nanti. Artinya, pengembangan sikap empati terhadap penderita HIV/AIDS perlu diperhatikan secara serius di kalangan masyarakat.

Penyelarasan serta keseimbangan antara pencegahan penularan HIV/AIDS dan pengembangan sikap empati serta rasa persaudaraan antarsesama tanpa diskriminasi harus seiring sejalan dengan kondisi masyarakat sekitar. Kelayakan hidup dan pergaulan untuk berinteraksi di tengah-tengah masyarakat harus diwujudkan secara manusiawi dan bijaksana terhadap penderita HIV/AIDS. Mereka membutuhkan dukungan dan spirit dari orang di sekitarnya untuk tetap survive.

Dengan demikian, perlu menjadi catatan khusus, mendiskriminasikan para penderita HIV/AIDS di tengah-tengah komunitas masyarakat berarti mengancam kehidupan yang layak bagi penderita (ODHA). Sebab, mereka butuh eksistensi diri, pengakuan, dan penghargaan dari lingkungannya.

Karena itu, berbagai upaya diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS harus segera distop. Marilah kita konsisten bahwa penderita HIV/AIDS adalah kawan kita bersama, sementara HIV/AIDS adalah lawan kita bersama. Untuk itu, membumikan sikap empati terhadap penderita HIV/AIDS menjadi sebuah keniscayaan. Wallahu a’lam.


Lilis Zulaekha S., aktivis gender, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Tidak ada komentar: